Tahun 1998, ketika demokrasi Indonesia reinkarnasi, adalah saat
dimana semua harapan tumpah-ruah. Bahwa ,
Indonesia akan
keluar dari krisis ekonomi, dan julukan negara berkembang bukanlah sebuah
julukan yang stagnan. Transparansi dalam segala bidang di puja-puja bagai dewa
yang kan bawa
perubahan, kala itu.
Lihat kini, 13 tahun sesudahnya.
Memang belum cukup lama. Tapi cukup untuk mengukur, adakah
yang berubah ???. Tidak ada. Yang berubah hanyalah konflik vertikal-horisontal
makin subur. Korupsi bukannya menuju kematian, malah “makin tua makin sehat”. Kemiskinan,
pengangguran, kriminalitas, sama saja dengan Orba, atau tidak lebih baik.
Lebih baik di tarik saja lagi, daripada terlanjur terjun ke
jurang. Anggap saja ini uji coba yang gagal. Dan kata pepatah, “setidaknya kita
pernah mencoba”.
Ternyata, rakyat yang berjuta jumlahnya, dari berbagai agama
dan etnis, tersebar di ribuan pulau besar & kecil, juga memiliki banyak
pemikiran yang berbeda-beda. Jadi bagaimana mungkin menyatukannya dalam sistem
demokrasi ? tentu mereka semua akan berebut bersuara dan menuntut apa yang jadi
kepentingannya. Alhasil, bentrok dimana-mana. Debat tanpa solusi di sini-sana. Dan
fokus pemerintah hanya pada penyelesaian, bukan pada pencegahan. Ketika sekolah
rubuh, baru diperbaiki, sementara yang akan rubuh, masih banyak lagi. Andai langsung
saja presiden perintahkan renovasi semua sekolah usang, dan langsung keluarkan
duitnya, maka semua masalah selesai !
Lets hunt for the one
who have absolute power but humanist.
Yang sanggup untuk mengontrol jalannya pemerintahan dari
pusat hingga daerah, dan memegang kendali penuh atas semua bidang kehidupan
rakyat. Juga yang sanggup untuk mengendus kemiskinan hingga kepelosok negeri.
Kemakmuran sebuah bangsa pastilah harus di ukur dari
kemandirian perekonomiannya. Ekonomi yang stabil, gaji per pekerja rata-rata min.
10 juta/ bulan, maka jalannya roda berbangsa-bernegara pun akan lurus-lurus
saja. Jika sudah sampai pada tahap ini, barulah demokrasi cocok diaplikasikan. Karena
urusan 3P : perut, pakaian, perumahan,
sudah aman. Rakyat tidak akan mempertaruhkan kenyamanan ini dengan mengambil
resiko apapun. Ini terjadi di
negara-negara Eropa sana .
Dimana demokrasi telah tumbuh subur.
Tapi tidak untuk Indonesia . Belum saatnya. Tidak dalam
30 tahun kedepan, apalagi saat ini. Kita masih butuh pemimpin yang kekuasaannya
tidak terbatas, tapi tidak otoriter. Biar semuanya berada dibawah satu kendali,
dan yang lain tidak usah banyak “cingcong”
And the big question is : can we
find this kind of person ? in Indonesian system of election, I doubt it ! Musnahkan dulu sistem multi-partai, baru keluar jagoannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar