Selasa, 09 Oktober 2012

Bapakku Bukan Polisi


Tapi inilah 30 argumentasi kenapa saya lebih memihak POLRI :

1. kenapa tidak ada yg menyikapi sikap tergesagesa KPK yg buru2 melakukan penyangkalan pada saat konpres? Bukankan itu terlihat seperti KPK tidak percaya diri? Kenapa tidak bilang saja “mari kita serahkan semua pada proses hukum”
  1. kenapa Abraham Samad lalu melakukan semacam orasi setelah konpres? Seolah seperti mencari dukungan dng bilang KPK telah dikriminalisasi. Padahal tanpa orasi itupun, dukungan terhadap KPK sudah mengalir deras.
  2. kenapa setelah kejadian ini hampir seluruh rakyat yg melek thd kasus ini jd antipati thd polisi. Lalu mengungkitungkit kesalahan yg penah dilakukan oleh polisi lain. Padahal Novel itupun polisi. Polisi yang sedang diungkit kembali kasus nya oleh polisi.
  3. kenapa memang jika kasus Novel ini adalah sebuah aksi balas dendam Polri akibat kasus simulator SIM ? toh pengusutan thd Irjen Djoko Susilo kan tidak akan dihentikan akibat kasus Novel ini.
  4. anggaplah ini memang aksi balas dendam Polri thd KPK, tapi kan tidak menutup kemungkinan bahwa Novel memang terlibat kasus penganiayaan pencuri sarang burung walet itu.
  5. anggap ini memang aksi balas dendam, tapi bagaimana jika aksi penganiayaan ini memang dilakukannya? Apakah kita akan mengabaikan ini hanya karena dia seorang penyidik KPK?
  6. berulangkali pihak KPK bilang pelemahan, kriminalisasi. Bukankah kejadian ini adalah sebuah penguatan KPK? Karena yg busuk2 mulai diciduk.
  7. kenapa setelah 8 thn kasus ini dibuka kembali? Karena ada 2 orang yg baru melapor.
  8. Kenapa harus tunggu ada delik aduan? Bukankah kasus kriminal murni tidak butuh delik aduan dulu untuk memproses?  Karena kasus ini sudah dianggap selesai. Yang bersangkutan sudah dikenakan sanksi disiplin. Makanya tidak diperpanjang lagi.
  9. dan ketika ada yg kembali melaporkan, mau tidak mau kasus ini dibuka kembali karena tidak boleh ada upaya pengabaian terhadap sebuah laporan dr masyarakat.
  10. kenapa KPK harus mati2an melindungi Novel, bukankah KPK yakin dia tidak bersalah?
  11. dan ketika kasus Novel ini dicurigai sebagai aksi balas dendam Polri, harusnya KPK semakin yakin bahwa memang ada yg salah pada kasus simulator SIM.
  12. Kejadian ini harusnya dijadikan sebuah momentum dlm pengusutan simulator SIM, dan menyakinkan segala pihak, bahwa kasus simulator SIM haruslah jadi wewenang KPK.
  13. memang di negeri ini tercatat pernah terjadi beberapa kejadian konspirasi. Seperti kasus Munir dan Antasari Azhar. Tapi saya tidak percaya jika kasus Novel ini juga sebuah konspirasi. Karena kejadiannya terlalu lugu.
  14. kalau memang sebuah konspirasi, kenapa pengangkapan Novel harus sekarang, di saat kasus simulator SIM sedang hot-hotnya. Bukankah itu adalah sebuah konspirasi yg sudah pasti akan ketebak saking lugunya?
  15. kenapa tidak nanti. Selang 5 atau 6 bulan. Tentu tidak semua orang akan menyangka ini adalah konspirasi. Toh sekali lagi, pengungkapan kasus Novel kan tidak menghentikan kasus simulator SIM.
  16. sebuah konspirasi adalah sesuatu yg harus direncanakan sesempurna mungkin agar tidak ketahuan. Contoh Munir. Hingga sekarang pembunuhnya masih berkeliaran. Itu baru konspirasi namanya.
  17. dan saya rasa Polri tentu tidak akan sebodoh itu melakukan konspirasi. Sebab Polri tentu sudah bisa menebak kepada siapa rakyat akan berpihak. Dan jika memang ini konspirasi, artinya Polri sudah bunuh diri di negara sendiri.
  18. memangnya putus asa terhadap apa institusi ini hingga memutuskan untuk bunuh diri?
  19. makanya saya yakin, kasus Novel ini memang benar adanya. Tidak mengandung tendensi apapun, konspirasi apapun, balas dendam terhadap pihak manapun.
  20. saya yakin Polri hanya berpijak pada penegakkan hukum. Yang salah ya salah. Sekalipun dia adalah penyidik KPK. Sekalipun akan disangka aksi balas dendam, tapi Novel Baswedan harus ditangkap akibat laporan 2 orang korban.
  21. Tidak ada yg bisa lagi dilakukan selain itu, meskipun efek dari hal itu akan mematikan citra Polri sendiri.
  22. Polri tidak butuh citra. Yang dia butuh justru adalah memulihkan kepercayaan rakyat kepadanya, dengan penegakkan hukum sebenar-benarnya.
  23. tapi yang terjadi justru sebaliknya. Disaat hukum akan ditegakkannya, justru semakin banyak rakyat yang membenci, hanya karena timing penangkapan yg dinilai “sangat kebetulan”.
  24. KPK juga manusia. Punya salah dan dosa. Masa kini ataupun masa lalu. Jd penyidik KPK bukan berarti semua salah menjadi putih.
  25. yang membuat saya lebih aneh lagi, saya tidak menemukan satu orangpun, satu statuspun, satu tweet pun yg mendukung Polri. Apakah hanya saya satusatunya di bumi ini? Tapi saya gak peduli. Tetap harus dengarkan hati nurani, dan logika yg pasti.
  26. mendukung sesuatu itu tidak boleh seperti “kemana angin bertiup saja”. Tapi mesti ada sebuah proses dialektika dulu. Membebaskan diri dari segala kepentingan dulu. Membebaskan hati dari sifat subjektif dulu. Baru akan di dapat sebuah kebenaran yang diyakini hati.
  27. tapi sekali lagi, kenapa Cuma saya yg berpikir seperti ini? Padahal saya sangat butuh seorang lawan yang bisa mementahkan semua argumentasi saya, agar dengan senang hati saya bisa berkata, “baiklah terrnyata persepsi saya salah” , lalu kemudian saya bisa sepemkiran dengan kebanyakan dari mereka. 
  28. dan asal pembaca tau, saya sungguh tersiksa menjadi orang yg berbeda sendiri.
  29. namun hati nurani tidak bisa dibungkam. Kebenaran tetap harus tegak, meskipun satu melawan seribu.

*ku dedikasikan tulisan ini untuk anak2ku, Re dan Runi. Kelak jika kejadian ini menjadi sebuah sejarah yang masuk dalam buku  pelajaran sekolah, kalian harus punya argumentasi sendiri, ikuti kata hati.


Jumat, 20 April 2012

Indonesia Ala Gue

Berdasarkan bentuknya, demokrasi ada 2 jenis. Pertama, demokrasi langsung, dimana seluruh rakyat dalam suatu negara berkumpul pada suatu tempat, untuk memberikan suara langsung, lalu menetapkan sebuah keputusan. Ini pernah ada di Athena. 
Kedua, demokrasi perwakilan, ciri sistem ini adalah adanya pemilihan umum untuk memilih wakil, yang akan menyampaikan pendapat lalu menetapkan keputusan atas nama rakyat.

Ini yang dipakai oleh Indonesia, meski pun presiden dan wakilnya, sudah dipilih langsung oleh rakyat. Tapi tetap saja, ada DPR dan DPD sebagai lembaga yang berdiri atas nama kedaulatan rakyat. 

Yang sebenar-benarnya demokrasi adalah Demokrasi Langsung. Tapi di jaman modern begini, sistem ini tidak lagi efektif, apalagi untuk Indonesia. Mengingat penduduk yang banyak dan kondisi geografis, sehingga tidak mungkin untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu tempat untuk berikan suara. Lagipula tidak semua rakyat tertarik memberikan hak suaranya. 

Tapi kalau Demokrasi Perwakilan, bagi saya ini bukanlah demokrasi. Apalagi pada prakteknya di Indonesia. Karena Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, yang anggotanya langsung dipilih rakyat, malah suka memlintir suara rakyat. Tidak mendengar suara konstituennya, apalagi yang sudah tersandung kasus. Tentu jadi sibuk sendiri. Harusnya mereka bertanggungjawab kepada rakyat, tapi yang terjadi malah rakyat berada di bawah kontrol mereka. Ini sudah kebolakbalik namanya. 

Bukti rakyat merasa tidak terwakili oleh lembaga ini adalah, ketika demo, gedung mereka berkantor selalu menjadi sasaran utama untuk diduduki lalu dirusak. Kalau rakyat merasa terwakili suaranya, tentu setiap ada keputusan pemerintah yg dirasa tidak adil buat rakyat, justru gedung ini yang dibela dan diamankan oleh rakyat. Karena berharap orang2 yang didalamnya adalah pembela nasib rakyat. Sebuah logika yang simpel saja. 

Jadi, demokrasi langsung tidak efektif, sementara demokrasi perwakilan adalah sebuah tipuan yang mengatasnamakan kedaulatan. Itu intinya. 
Sekarang masalahnya, demokrasi bentuk apalagi yang cocok buat Indonesia? 

Jawaban saya seperti biasa. 
Jumlah penduduk yang begini banyak dan beragam budaya.
Kondisi geografis yang terpencar-pencar oleh lautan.
Tingkat pendapatan rata2 rakyat yang masih dalam kategori negara dunia ketiga.
Dan kitapun bangsa Timur…
Demokrasi tidak cocok buat Indonesia.

Indonesia butuh kepemimpinan yang kekuasaannya sentralistis, dan dibantu cukup oleh menteri2nya. Meskipun mentrinya akan berjumlah seribu, yang penting sang mentri langsung di bawah perintah sang presiden. Yang mengatur segala-gala, mulai dari pusat hingga  provinsi. 

Tidak ada yang namanya otonomi. Tidak ada yang namanya sistem multipartai. Cukup satu partai, partai pemerintah. Tidak ada yang namanya dewan perwakilan rakyat. 
Sistem apa namanya ??? mari kita berembuk untuk membuatnya seunik mungkin. Mengingat Indonesia pun salah satu negara unik di dunia. 

Bagaimana jika presidennya korupsi, maka mentri hukumnya punya wewenang untuk langsung menggantung mati sang presiden, lalu mentri dalam negerinya mengadakan pilpres biar rakyat dapat memilih presiden baru. Hal seperti ini sebenarnya nyaris mirip dalam UUD kita pasal 8 ayat 2 dan 3, tentang tugas & wewenang MPR. Bunyinya: 
“Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama.”

Sebuah contoh yang masih fresh terkait BBM. masalah pembentukan BP MIGAS. Badan yang diberi wewenang oleh pemerintah, tentu atas persetujuan DPR dengan berbagai kepentingannya, mengurusi minyak dan gas negara. Hingga mereka membuat aturan Pertamina tidak boleh memonopoli sumur-sumur minyak di Indonesia. Untuk mendapatkan hak mengelola, Pertamina mesti bersaing dengan perusahaan2 minyak asing, yang bertameng investor. 

Ini contoh kecil terlalu banyak sumber keputusan yang menentukan nasib bangsa ini. Hingga nasibnya menjadi MADESU (Masa Depan Suram).

Demokrasi itu cocoknya di Barat, dimana dia berawal, dimana negara2nya hampir masuk kategori negara maju, dimana taraf hidup rakyatnya bisa dibilang rata2 mapan. Demokrasi cuma akan beradaptasi dalam negara berekonomi stabil. 

Karena seperti teori yang pernah saya buat sendiri tentang karakter manusia, 
“kemapanan hidup akan membuat seorang manusia lebih berpikir lalu bertindak bijaksana.”

Entah ada yang pernah terpikir tentang teori ini atau tidak, yang jelas saya membuatnya tanpa referensi. Hanya tiba2 tercetus pada sebuah malam setelah proses perenungan. 
Kemapanan rakyat dalam sebuah negara bersistem demokrasi, akan membuat negara tersebut stabil. Sebuah masalah dalam negara dapat terpecahkan dengan cara yang nyaris mulus. 

Tidak seperti Indonesia, semua ingin bersuara, semua ingin menunjukkan batu dan bom molotovnya. Bahkan dalam sidang paripurna. Semua ingin bicara sekalipun cuma nyeletuk, yang penting bunyi.
 
Tapi memang, tidak segampang saya menulis katakata. Tentu semua ini lebih rumit, dan harus ada kajian dalam sebuah secret society yang memulainya. Kenapa harus secret? Sebab kalau terang2an, gerakan ini akan dicap makar. 

Lalu seperti cara-cara secret society yang pernah ada, contohnya Skull and Bones yang beberapa anggotanya kelak menjadi presiden Amerika, mulailah gerakan penyusupan. Ke dalam setiap lembaga negara yang sudah ada. Pergerakan secara diam-diam dan mulus, demi mencegah terjadinya revolusi yang akan memakan banyak nyawa, biaya, lalu mementahkan sebuah negara. 

Tapi ini semua jika mungkin. Jika tidak, maka biarlah semua ide saya ini bersemayam dalam sebuah blog. Toh blog nya pun sudah berjudul “kuburankatakata.”

Kamis, 19 April 2012

Musik ku, Ego ku

Penikmat musik yang individualis, itu saya.
Sekalipun band atau penyanyi pujaan hati bikin konser di Depok...gratis pula...tidak akan saya menontonnya. Lebih baik di rumah atau di kamar spesifiknya.  
Meresapi lantunan musik dan vokalnya, yg langsung menancap ke gendang telinga,
kemudian diolah oleh rasa tanpa logika.
Dan itu akan mampu membuat saya menangis tersedusedu.
Karena musik adalah urusan hati.
Itu sebabnya,
MUSIK SAYA, HANYA UNTUK SAYA.
Tidak ingin saya bagi dengan orang lain...


Selasa, 04 Oktober 2011

Democracy, I Trust You no More

Cukup sudah demokrasi ini.
Tahun 1998, ketika demokrasi Indonesia reinkarnasi, adalah saat dimana semua harapan tumpah-ruah. Bahwa, Indonesia akan keluar dari krisis ekonomi, dan julukan negara berkembang bukanlah sebuah julukan yang stagnan. Transparansi dalam segala bidang di puja-puja bagai dewa yang kan bawa perubahan, kala itu.

Lihat kini, 13 tahun sesudahnya.
Memang belum cukup lama. Tapi cukup untuk mengukur, adakah yang berubah ???. Tidak ada. Yang berubah hanyalah konflik vertikal-horisontal makin subur. Korupsi bukannya menuju kematian, malah “makin tua makin sehat”. Kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, sama saja dengan Orba, atau tidak lebih baik.

Lebih baik di tarik saja lagi, daripada terlanjur terjun ke jurang. Anggap saja ini uji coba yang gagal. Dan kata pepatah, “setidaknya kita pernah mencoba”.

Ternyata, rakyat yang berjuta jumlahnya, dari berbagai agama dan etnis, tersebar di ribuan pulau besar & kecil, juga memiliki banyak pemikiran yang berbeda-beda. Jadi bagaimana mungkin menyatukannya dalam sistem demokrasi ? tentu mereka semua akan berebut bersuara dan menuntut apa yang jadi kepentingannya. Alhasil, bentrok dimana-mana. Debat tanpa solusi di sini-sana. Dan fokus pemerintah hanya pada penyelesaian, bukan pada pencegahan. Ketika sekolah rubuh, baru diperbaiki, sementara yang akan rubuh, masih banyak lagi. Andai langsung saja presiden perintahkan renovasi semua sekolah usang, dan langsung keluarkan duitnya, maka semua masalah selesai !

Lets hunt for the one who have absolute power but humanist.
Yang sanggup untuk mengontrol jalannya pemerintahan dari pusat hingga daerah, dan memegang kendali penuh atas semua bidang kehidupan rakyat. Juga yang sanggup untuk mengendus kemiskinan hingga kepelosok negeri.

Kemakmuran sebuah bangsa pastilah harus di ukur dari kemandirian perekonomiannya. Ekonomi yang stabil, gaji per pekerja rata-rata min. 10 juta/ bulan, maka jalannya roda berbangsa-bernegara pun akan lurus-lurus saja. Jika sudah sampai pada tahap ini, barulah demokrasi cocok diaplikasikan. Karena urusan 3P :  perut, pakaian, perumahan, sudah aman. Rakyat tidak akan mempertaruhkan kenyamanan ini dengan mengambil resiko apapun.  Ini terjadi di negara-negara Eropa sana. Dimana demokrasi telah tumbuh subur.

Tapi tidak untuk Indonesia. Belum saatnya. Tidak dalam 30 tahun kedepan, apalagi saat ini. Kita masih butuh pemimpin yang kekuasaannya tidak terbatas, tapi tidak otoriter. Biar semuanya berada dibawah satu kendali, dan yang lain tidak usah banyak “cingcong” 

And the big question is : can we find this kind of person ? in Indonesian system of election, I doubt it ! Musnahkan dulu sistem multi-partai, baru keluar jagoannya.